Bukan Ancaman Tekstil, APSyFI Justru Menilai BMAD jadi Solusi Persaingan Sehat

作者:探索 来源:时尚 浏览: 【 】 发布时间:2025-05-29 06:03:08 评论数:
Warta Ekonomi,quickq入口 Jakarta -

Rencana kebijakan kenaikan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk produk polyester oriented yarn dan draw textured yarn(POY-DTY) yang diterapkan pemerintah menuai perhatian dari berbagai pihak. Salah satunya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang mengkhawatirkan kebijakan ini dapat mengganggu persaingan usaha dan merugikan industri hilir tekstil. 

Namun, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menilai bahwa kekhawatiran tersebut perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas. Ketua APSyFI, Redma Gita Wirawasta menuturkan bahwa kebijakan BMAD yang diberlakukan pemerintah justru merupakan upaya untuk memulihkan kondisi industri dalam negeri yang selama ini terganggu oleh praktik perdagangan tidak adil, yaitu dumping. 

Bukan Ancaman Tekstil, APSyFI Justru Menilai BMAD jadi Solusi Persaingan Sehat

Bukan Ancaman Tekstil, APSyFI Justru Menilai BMAD jadi Solusi Persaingan Sehat

“Harusnya kan persaingan usaha itu sehat, ya. Dan dalam konteks ini, pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah menjalankan tugasnya. Mereka sudah menganalisis, mencari bukti, dan akhirnya terbukti bahwa memang ada praktik dumping,” jelas Redma dalam keterangan tertulis.

Bukan Ancaman Tekstil, APSyFI Justru Menilai BMAD jadi Solusi Persaingan Sehat

Ia menambahkan bahwa dumping adalah praktik usaha yang tidak sehat dan berdampak buruk terhadap pelaku industri nasional. Oleh karena itu, kebijakan BMAD ini wajib bergulir karena menciptakan playing field yang adil bagi industri tekstil.

Bukan Ancaman Tekstil, APSyFI Justru Menilai BMAD jadi Solusi Persaingan Sehat

“Dumping ini kan praktik usaha yang nggak sehat. Artinya, seharusnya KPPU juga punya sensitivitas untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik semacam itu,” katanya.

Redma menegaskan bahwa kebijakan ini tidak muncul tanpa dasar. BMAD diterapkan setelah Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), lembaga resmi pemerintah yang ditunjuk untuk menangani kasus dumping, melakukan penyelidikan dan menemukan bahwa produk impor dijual dengan harga yang jauh lebih murah dari harga normal atau harga di negara asal.

Baca Juga: BPS Catat Industri Tembakau Minus 3,77% di Kuartal I 2025, Moratorium Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Perlu Dilakukan

“Ini bukan cuma opini kita. Ini sudah dibuktikan sama otoritas pemerintah (KADI), institusi yang memang punya wewenang dan koridor hukumnya. Jadi mereka punya landasannya,” ujarnya.

Terkait kondisi pasar saat ini, KPPU menyoroti bahwa satu perusahaan lokal terlihat mendominasi pasokan POY di Indonesia. Namun APSyFI memberikan klarifikasi bahwa dominasi tersebut terjadi akibat praktik dumping yang merusak industri tekstil, khususnya sektor hulu.

“Kalau dari concern KPPU, memang sekarang kondisi untuk POY itu kelihatannya cuma satu company yang dominan suplai ke dalam negeri. Tapi sebenarnya produsennya ada lima. Cuma, karena praktik dumping dari impor, tiga di antaranya tutup. Satu lagi cuma produksi sedikit. Jadi, kenapa sekarang kelihatannya satu company yang dominan? Ya karena yang lain pada mati duluan," terang dia.

Untuk itu, pihaknya menegaskan bahwa penerapan BMAD justru bertujuan untuk memulihkan persaingan usaha dengan menghidupkan kembali perusahaan-perusahaan lokal yang sebelumnya terpaksa berhenti produksi akibat serbuan produk dumping. Sehingga pasar tidak lagi didominasi satu pemain dan kondisi industri menjadi lebih sehat serta seimbang.

Baca Juga: Menkop Dorong Kopdes Merah Putih Jadi Pusat Industri Desa

"Justru kita minta diberlakukan anti-dumping supaya kondisi ini bisa dibalik. Supaya perusahaan-perusahaan yang tadinya mati itu bisa aktif lagi. Jadi pasar nggak lagi didominasi satu pemain saja. Harusnya malah makin sehat, kan?,” jelasnya.

Ia menjelaskan bahwa dengan adanya kebijakan BMAD, produksi POY diperkirakan bisa mencapai 430 ribu ton per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 300 ribu ton akan dipakai oleh perusahaan anggota APSyFI untuk keperluan produksi mereka sendiri, sementara sisanya, dan sekitar 130 ribu ton akan dijual ke pasar dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan industri lain.

“Kalau tiga perusahaan yang dulu mati itu hidup lagi, mereka bisa produksi total 430 ribu ton. Sebagian buat mereka sendiri, dan sebagian bisa gantiin impor yang sekarang masih masuk 130 ribu ton,” katanya.

Redma juga menyoroti pentingnya keadilan dalam harga jual. Menurutnya, para pelaku industri dalam negeri tidak keberatan bersaing, asalkan berada di level harga yang adil dan setara. 

Lebih jauh, ia menambahkan bahwa ada produk yang bahkan dijual di Indonesia dengan harga USD0,95 per kilogram. Padahal harga normal pasar ada di kisaran USD1,15 sampai USD1,20. “Harga normal POY itu sekitar USD1,15 sampai USD1,2 per kilo. Tapi sekarang ada yang jual di bawah USD1, bahkan sampai USD0,95. Jelas ini indikasi dumping,” tegas Redma.

Meski demikian, APSyFI menghormati posisi dan peran KPPU dalam menjaga persaingan usaha di Indonesia. Redma berharap KPPU juga melihat kebijakan BMAD sebagai bagian dari upaya memulihkan persaingan yang sehat, bukan sebagai hambatan baru. 

“Saya rasa KPPU belum nangkep soal ini. Ini kan sebenarnya predatory pricing. Tapi dengan komunikasi yang baik, saya yakin semua pihak bisa punya pemahaman yang sama soal pentingnya melindungi industri kita,” tutup Redma.